harakah.co– Tidak seorang pun meragukan bahwasanya Rasulullah Saw. bersama kaum Muslimin di awal era dakwah secara politis berada dalam otoritas kaum Quraish Makkah. Mereka menjalani masa-masa yang berat selama tiga belas tahun dalam memperjuangkan hak kebebasan berpikir mereka, kebebasan untuk percaya, termasuk juga kebebasan untuk menerima agama baru yang mereka yakini layaknya cahaya yang menerangi siapa saja yang mau menyambutnya dengan pandangan lepas, tangan terentang dan dada terbuka. Nabi sendiri kala itu bak Ubermensch yang siap menyelamatkan siapa saja yang tersakiti oleh kekejaman dunia, terutama bagi kaum proletar dan budak.
Sementara di sisi lain, eksistensi seorang Muhammad dengan hal ‘baru’-nya bagi mayoritas pembesar Quraish dibaca sebagai nuklir pemusnah yang siap meluluh-lantahkan otoritas dan stabilitas politik (versi mereka) dan mencerabut ideologi kesukuan yang sudah sekian lama mentradisi di tengah-tengah bangsa Arab. Kita tentu tahu bahwa di antara misi yang dibawa Nabi adalah penerapan paham egalitarianisme (kesederajadan) dalam kehidupan keseharian. Mereka, pada titik terakhir sepakat bahwa Muhammad haruslah enyah dari kehidupan bangsa Arab.
Selama tiga tahun awal, proses dakwah berlangsung secara sembunyi-sembunyi. Baru sepuluh tahun setelahnya, Nabi –terutama di setiap musim haji— berdakwah secara terang-terangan di tengah kaumnya. “Keluarga dan kerabatmu lebih tahu akan kepalsuanmu dengan tidak mengikutimu”, begitulah di antara ucapan yang mereka lontarkan kepadanya sebagai bentuk penolakan mereka terhadapnya.
Pada tahun ke-lima, di saat tekanan kaum Quraish terhadap kaum Muslimin tidak mampu lagi mereka tahan, sebagai upaya penyelamatan diri, Nabi mengutus para sahabat untuk berhijrah ke Ethiopia. Ketika itu penguasanya adalah seorang raja Nasrani yang dikenal keadilannya. Ini tentu bisa mejadi bukti historis bahwa umat Islam sejatinya bisa hidup rukun berdampingan dengan umat Kristiani.
Satu-satunya hal yang layak kita jadikan alasan untuk menjauhi liyan adalah ketika hak-hak kemanusiaan kita direnggut olehnya, seperti yang telah kaum Quraish lakukan atas umat Muslim kala itu. Sejarah mencatat bahwa proses hijrah ke negeri di mana Bilal ra. berasal terjadi dua kali. Dan di saat para pembesar Quraish berkumpul di Dar al-nadwah dan bersepakat untuk menghabisi nyawa sang Nabi, barulah keluar izin dari Nabi (setelah adanya usulan dari para sahabat) supaya berhijrah untuk terakhir kalinya ke Madinah al-Munawwarah, agar kaum Muslimin bisa membangun era baru dalam keberagamaan mereka dan membentuk sebuah entitas politik baru yang lebih progresif.
Jika kita mau mengamati dengan seksama potret realitas historis kaum muslimin di era tersebut, tentu kita tahu bahwa praktek keberagamaan yang ditapaki Rasululullah bersama para sahabat kala itu adalah praktek keberagamaan yang mengutamakan prinsip samâhah, ketika menghadapi berbagai tekanan yang mendera mereka. Mereka tidak pernah mengawali dalam memerangi siapapun liyan yang tidak sepakat dengan mereka. Bahkan mereka tidak enggan untuk meminta perlindungan (suaka politik) dari umat lain di saat jiwa mereka terancam. Dan itu bukanlah satu hal yang tercela dalam Islam. Kenyataan tersebut selayaknya bisa menjadi cermin bagi umat Islam sekarang yang sedang mengalami deklinasi dalam banyak hal dan berbagai tekanan dari pihak luar.
Mereka harus dapat bersikap sewajarnya dan mengupayakan perbaikan yang realistis, sesuai kondisi umat dan konteks waktu, agar tidak terjerumus pada gerak-langkah yang absurd (dengan melakukan prakrek terosrisme misalnya) yang justru akan semakin mengancam keberlangsungan kaum Muslimin sendiri. Tidak ada salahnya umat Islam menurunkan tensi kecurigaannya, menyudahi dalam mengeksklusifkan dirinya terhadap pihak luar dan mau berkompromi dalam politik, ekonomi, dll, selama hal itu tidak merugikan keberagamaan mereka dan menegasikan nilai-nilai moral dan kemanusiaan.