harakah.co – Kata “Kafir” masih saja menjadi bahan perbincangan. Ada yang pro ada yang kontra. Selalu saja kata kafir ini muncul ke permukaan. Menjadi bahan bakar amarah. Menjadi bumbu penyedap saling fitnah.
Kata kafir seakan batu sandung persatuan. Bahkan ada yang menggaris, di Indoesia tidak ada kafir. Jika ada orang yang mengatakan kafir, berarti tidak pancasilais. Anti NKRI. Harus dibasmi.
Lalu, apakah jika cinta Indonesia, kita tidak boleh menyebut kata kafir untuk nonmuslim?
Dalam Islam, orang yang bukan muslim di sebut kafir. Sama dengan dengan kristen misalnya, menyebut non kristen dengan istilah domba-domba yang tersesat. Jadi, kafir adalah istilah dalam agama Islam untuk menyebut non Muslim.
Hal ini sebagaimana ditulis oleh Khalid Al-Majid dalam kitabnya, Ahkâm at-Ta’âmul Ma’a Ghair al-Muslimîn. Menurutnya, arti kafir adalah orang yang tidak beriman kepada risalah (ke-rasulan) Nabi Muhammad saw. atau tidak beriman kepada ajaran pokok yang bisa diketahui dengan biddarurah (mudah)
Sayyid Segaf bin Ali Al-Kaf mencoba mengulas kenapa non-muslim disebut kafir. Menurutnya, Islam itu agama yang sangat jelas kebenarannya. Orang yang tidak masuk Islam, berarti menutup diri dari hal yang sudah jelas. Oleh karenanya, dia disebut kafir.
Namun demikian, dalam pergaulan sehari-hari, kita tidak perlu memanggil non-muslim dengan kata kafir. Kita panggil saja dengan nama aslinya. Apa lagi non-muslim sepertinya tidak mau dipanggil kafir.
Imam Nawawi menulis dalam kitabnya Al-Majmu’, saat kita saling sapa dengan non-muslim, kita cukup memanggil dengan namanya. Bahkan, kita boleh memanggilnya dengan panggilan kun’yah (nama yang digunakan untuk menghormati) saat kita tidak tahu nama aslinya.
Nama kun’yah juga bisa pakai bahkan harus jika nama yang lain bisa menimbulkan mafsadah (hal negatif).
Imam Nawawi menyinggung hal ini dalam kitab Shohih Muslim. Menurutnya – mengutip pendapat Imam Qadhi Iyadh- memanggil non muslim dengan nama kun’yah itu boleh. Menurut pendapat lain (Qil) pada dasarnya memanggil non muslim dengan nama kun’yah itu tidak boleh. Karena kun’yah itu termasuk panggilan penghormatan. Namun, jika ada maslahah seperti untuk ta’aluf (membangun rasa saling cinta), maka tidak masalah.
Hal senada juga dengan pendapat Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Menurutnya, hukum memberi kun’yah pada non-muslim tergantung pada situasi dan kondisi. Jika ada maslahah rajihah (lebih banyak positif dari pada negatifnya), maka boleh.
Misalnya, kita memberi kun’yah agar hati orang-orang kafir luluh, atau agar dia masuk Islam, atau agar masyarakat melihat betapa indah Islam memperlakukan orang yang tidak seagama, sehingga mereka simpati pada Islam, maka tidak apa-apa. Bahkan hal demikian lebih utama.
Rasulullah saw. pun pernah memanggil non muslim dengan nama kun’yah. Beliau memanggil Usquf Najran dengan Abul Harits (Ayah Harits). Suatu ketika beliau mengatakan, “Wahai Abal Harits masuk Islamlah!”.
Alhasil, seharusnya tidak ada yang tersinggung dengan kata kafir. Karena kafir hanya istilah dalam Islam untuk yang bukan muslim. Artinya juga tidak negatif. Kafir berarti orang yang menutup diri dari Islam.
Namun, bukan berarti kita (muslim) bebas mengatakan kafir. Saat bergaul dengan non muslim, kita cukup memanggil dengan namanya. Atau nama kehormatannya. Hal itu boleh bahkan lebih baik jika ada kemaslahatannya.Wallahu A’lamu Bisshowab.