Bagi pengkaji dan pemerhati fikih mazhab Syafi’i, keberadaan kitab Minhaj at-Thalibin menjadi literatur utama yang sulit terpisahkan. Alasannya, kehadiran kitab ini diklaim sebagai rujukan paling representatif dalam kajian fikih mazhab Syafi’i. Tak heran, kitab Minhaj at-Thalibin sering kali dijadikan referensi utama dalam berbagai forum musyawarah dan Bahtsul Masail di pesantren maupun Nahdlatul Ulama.
Kitab Minhaj at-Thalibin atau yang sering disebut dengan kitab Al-Minhaj merupakan salah satu di antara deretan karya Abu Zakaria Muhyiddin Yahya bin Syaraf an-Nawawi yang kemudian lebih dikenal dengan nama Imam an-Nawawi (w. 676 H). Dengan nama lengkap Minhaj at-Thalibin wa ‘Umdah al-Muftin yang berarti “Jalan para pelajar dan penopang para mufti”, sang penulis telah memberikan sinyal optimis bahwa karyanya sangat patut dijadikan pegangan bagi mereka yang berkecimpung dalam bidang fikih, khususnya fikih mazhab Syafi’i.
Dalam pendahuluan (muqaddimah) kitab ini, Imam An-Nawawi menjelaskan bahwa kehadiran kitab Al-Minhaj tidak terlepas dari kitab Al-Muharrar karya Imam Ar-Rafi’i (w. 623 H). Karena sejatinya kitab Al-Minhaj merupakan ringkasan (mukhtashar) kitab Al-Muharrar. Kitab Al-Muharrar sendiri merupakan hasil karya Imam Ar-Rafi’i dalam menghimpun berbagai pendapat Imam Syafi’i serta silang pendapatnya dengan para Ashhab asy-Syafi’i (sebutan bagi pengikut atau murid Imam Syafi’i). Atas dasar itulah Imam an-Nawawi hendak menghadirkan kembali kitab Al-Muharrar yang berjilid-jilid dengan wajah baru dan format yang lebih ringkas agar lebih mudah untuk dipahami dan dihafal.
Nilai tawar yang diberikan Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Minhaj tidaklah sederhana. Yang mampu mencuri perhatian para pengkaji dan pemerhati fikih Madzhab Syafi’i adalah kepiawaiannya dalam merumuskan istilah fikih. Kendati istilah-istilah semacam itu sudah ada sebelumnya, namun istilah yang dirumuskan oleh Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Minhaj dinilai lebih sempurna dari istilah fikih yang dicetuskan dari para pendahulunya, seperti Imam Ar-Rafi’i dan Imam Al-Faurani.
Pada dasarnya, istilah-istilah fikih dalam kitab Al-Minhaj dirumuskan dalam rangka untuk mengetahui asal perbedaan pendapat (khilaf) dan tingkat kekuatan antar pendapat yang berbeda. Sehingga ketika terjadi kontraksi antara dua pendapat atau lebih, maka keberadaan istilah tersebut mampu memberikan jalan keluar dalam menentukan pendapat mana yang lebih kuat, baik secara dalil argumentasi, nalar berpikir dan ketepatan menganalisis permasalahan. Sebagaimana yang telah ditegaskan Imam an-Nawawi dalam pendahuluan kitab ini:
فحيث أقول في الأظهر أو المشهور فمن القولين أو الأقوال فإن قوى الخلاف قلت: الأظهر وإلا فالمشهور وحيث أقول الأصح أو الصحيح فمن الوجهين أو الأوجه فإن قوى الخلاف. قلت: الأصح، وإلا فالصحيح وحيث أقول المذهب فمن الطريقين أو الطرق وحيث أقول النص فهو نص الشافعي رحمه الله ويكون هناك وجه ضعيف أو قول مخرج وحيث أقول الجديد فالقديم خلافه أو القديم أو في قول قديم فالجديد خلافه وحيث أقول وقيل: كذا فهو وجه ضعيف والصحيح أو الأصح خلافه وحيث أقول وفي قول كذا فالراجح خلافه
Artinya:
“Sekiranya saya menyebutkan redaksi الأظهر atau المشهور berarti hal itu muncul dari dua atau beberapa pendapat. Apabila pendapat yang berbeda itu kuat maka saya menyebutnya الاظهر namun apabila tidak kuat maka saya menyebutnya المشهور . Dan sekiranya saya menyebutkan redaksi الأصح atau الصحيح berarti hal tersebut muncul dari dua atau beberapa pandangan. Apabila pandangan yang berbeda itu kuat maka saya menyebutnya الأصح namun apabila tidak kuat maka saya menyebutnya الصحيح . Dan sekiranya saya menyebutkan redaksi المذهب berarti hal tersebut muncul dari dua atau beberapa metode. Dan sekiranya saya menyebutkan redaksi النص berarti hal tersebut nash langsung dari Imam Syafi’i rahimahullah dan di sana terdapat pendapat yang lemah serta pendapat yang dikeluarkan. Dan sekiranya saya menyebutkan redaksi الجديد maka menjadi lawan dari redaksi القديم . Dan sekiranya saya menyebutkan redaksi القديم atau redaksi في قول قديم maka menjadi lawan dari redaksi الجديد . Dan sekiranya saya menyebutkan redaksi وقيل كذا maka mengindikasikan pandangan yang lemah dan redaksi الصحيح atau الأصح menjadi kebalikannya. Dan redaksi وفي قول كذا maka yang unggul adalah pandangan kebalikannya.” (halaman: 65)
Di sisi lain, inovasi yang dibuat Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Minhaj adalah meniadakan kosakata asing (gharib) yang ada dalam kitab Al-Muharrar. Pada gilirannya, kosakata tersebut diganti dengan yang lebih jelas dan mudah. Salah satu contohnya ialah kata الباغ yang digunakan Imam Ar-Rafi’i dalam kitab Al-Muharrar. Kata tersebut sangat asing dalam bahasa Arab karena memang kata tersebut berasal dari bahasa Persia (Iran). Akhirnya, dalam kitab Al-Minhaj, Imam An-Nawawi menggantinya dengan kata البستان yang berarti “kebun”. (halaman: 229)
Tidak berhenti sampai di sini, Imam An-Nawawi masih mengembangkan pembaruan-pembaruan lain. Beliau melakukan pembenahan kosa kata yang dipergunakan Imam Ar-Rafi’i dalam kitab Al-Muharrar yang masih mungkin berpotensi menimbulkan salah pemahaman. Misalkan redaksi ولا يحب ولي عبد صبي على النكاح diganti dengan redaksi ولا يزوج ولي عبد صبي . (halaman: 382)
Alasannya, redaksi yang dipergunakan oleh Imam Ar-Rafi’i dalam kitab Al-Muharrar bisa menimbulkan pemahaman bahwa seorang wali berhak menikahkan budak yang dimiliki anaknya yang masih kecil dengan persetujuan anak tersebut. Sehingga bagi wali tidak boleh menikahkan budak tersebut tanpa persetujuan dari anaknya yang masih kecil. Padahal, baik disetujui atau tidak, seorang wali tidak boleh menikahkan budak tersebut. Di sinilah pembaruan Imam An-Nawawi dalam kitab Al-Minhaj dapat meminimalisir kesalahan dalam mengambil kesimpulan hukum.
Dari usaha-usaha yang tidak sederhana itulah akhirnya Imam An-Nawawi berhasil menelurkan karya kitab Minhaj at-Thalibin. Tak heran, kitab Minhaj at-Thalibin diklaim mampu menjadi kitab Matan yang merepresentasikan keseluruhan rumusan fikih mazhab Syafi’i. Sistematika penulisannya pun hampir sama dengan kitab-kitab fikih pada umumnya, yakni pendahuluan, bersuci (dengan keseluruhan babnya), salat, salat jamaah, jenazah, puasa, iktikaf, haji, muamalah (dengan keseluruhan babnya), waris dan wasiat, pernikahan (dengan keseluruhan babnya), pidana, denda, dakwaan (dengan keseluruhan babnya), buruan dan sembelihan, kurban, makanan, sumpah, nazar, peradilan, persaksian dan barang bukti, hingga memerdekakan budak.
Akan tetapi, perlu diakui jika kajian atas kitab Minhaj at-Thalibin pada beberapa pesantren di Indonesia termasuk literatur fikih tingkatan menengah ke atas. Kitab ini hanya dipelajari oleh mereka yang sudah memiliki bekal yang cukup dalam bidang fikih. Tanpa menafikan kemampuan para pengkaji fikih tingkat dasar, kitab ini ‘tidak layak konsumsi’ bagi pemula yang baru berkonsentrasi pada fikih.
Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa kitab Minhaj at-Thalibin karya Imam An-Nawawi ini sangat layak menjadi bacaan ‘wajib’ bagi pengkaji dan pemerhati fikih mazhab Syafi’i. Sajian istilah-istilah fikih memberikan nilai lebih dalam kitab ini, khususnya dalam rangka mengetahui karakteristik dan asal mula perbedaan pendapat yang terjadi dalam mazhab Syafi’i. Namun dalam rangka mendapatkan pemahaman yang utuh, mempelajari kitab ini perlu kajian lebih serius. Apalagi bahasa yang disajikan terbilang ringkas dengan bobot pembahasan yang cukup mendalam. Untuk itu disarankan juga mengkaji kitab-kitab yang mengurai lebih jauh terhadap kitab Al-Minhaj ini, baik yang berupa penjelasan (syarh), komentar (hasyiyah), hingga berupa bait-bait (nadzam). []
Nama Kitab: Minhaj at-Thalibin wa ‘Umdah al-Muftin fi al-Fiqh
Penulis: Abu Zakaria Muhyiddin Yahya bin Syaraf an-Nawawi
Penerbit: Dar al-Minhaj, Beirut – Lebanon
Tahun Terbit: 1426 H/2005 M
Tebal: 712 halaman
Penulis: Nasikhun Amin