Pada masa keemasannya, umat Islam pernah memiliki banyak Ulama yang sangat ahli terkait hukum-hukum agama bahkan sampai ‘mendirikan’ mazhab. Sebutlah diantaranya imam Sufyan al-Tsauri, Laits bin Sa’d, al-Zhahiri dan imam mazhab yang empat. Namun, dari sekian mazhab yang pernah eksis dalam sejarah keilmuan Islam, hanya empat mazhab saja yang terkodifikasi dengan baik hingga zaman ini. Yaitu mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali.
Penganut empat mazhab fikih ini tersebar di berbagai belahan dunia, misalnya Mazhab hanafi cendrung dianut oleh umat Islam di Asia Selatan, mazhab Maliki dominan dianut oleh umat Islam di Afrika -khususnya Afrika Barat dan Utara-, Mazhab Syafi’i yang banyak dianut oleh Muslim di Asia Tenggara dan mazhab Hambali yang banyak diikuti oleh Muslim di Semenanjung Arab.
Namun, seiring berkembangnya teknologi dan mudahnya akses belajar ke luar negeri. Baik para pelajar fikih maupun orang awam sangat mudah sekali untuk mengakses berbagai informasi seputar empat mazhab beserta ikhtilaf diantaranya melalui media sosial. Sehingga muncul beberapa pertanyaan, salah satunya adalah ‘apakah boleh berpindah mazhab?’. Artikel ini akan mencoba menjawab pertanyaan terebut.
Bolehkah Berpindah Mazhab?
Al-Allamah Ahmad Bik al-Husaini dalam kitabnya “Tuhfah al-Ra’y al-Sadid fi al-Ijtihad wa al-Taqlid menjelaskan tentang hal ini. Namun sebelum menerangkan terkait hukumnya, beliau terlebih dahulu merincikan tentang keadaan dan tujuan orang yang ingin berpindah mazhab ini, karena orang dengan keadaan berbeda bisa terkena hukum yang berbeda pula. Berikut perinciannya.
- Berpindah Mazhab karena Kepentingan Duniawi
Yang pertama, jika seseorang berpindah mazhab hanya karena kepentingan duniawi seperti harta benda, jabatan atau kedekatan dengan penguasa. Pelakunya dibedakan menjadi dua, yaitu awam dan faqih.
Jika pelakunya adalah seorang awam, dalam artian bukan seorang yang faqih terhadap mazhabnya, yang bermazhab hanya sekedar nama, maka menurut beliau hukum ia berpindah mazhab tidak sampai pada titik keharaman. Karena sebenarnya ia adalah seorang yang awam dan orang awam pada dasarnya tidak memiliki mazhab tertentu.
Adapun jika pelakunya adalah seorang yang fakih terhadap mazhabnya, maka menurut beliau hukumnya sampai pada keharaman. Karena orang seperti ini seakan-akan bermain-main dengan hukum syariat hanya karena mengejar berbagai keuntungan duniawi belaka.
- Berpindah Mazhab karena Kepentingan Agama
Keadaannya pun juga terbagi dua.
Pertama, jika ia adalah seorang yang fakih terhadap mazhabnya, namun dalam proses perjalanan intelektualnya ia menemukan mazhab lain yang lebih unggul, yang lebih jelas dalilnya dan lebih kuat argumentasinya daripada mazhab yang dianutnya saat ini. Dalam keadaan ini hukumnya adalah ia boleh bahkan wajib berpindah mazhab. Sebagaimana ketika Imam al-Syafi’i datang ke Mesir, maka banyak orang Mesir yang berpindah menjadi Syafi’iyyah setelah sebelumnya bermazhab Maliki.
Kedua, jika ia adalah orang yang telah lama belajar fikih mazhabnya namun ia sulit memahami mazhabnya dengan baik karena berbagai hal, kemudian ia mendapati mazhab lain yang lebih mudah baginya untuk dipahami dan dipelajari, maka dalam kondisi ini ia wajib berpindah mazhab.
Karena tujuan bermazhab itu adalah untuk ber-tafaqquh, jika memang ia mampu ber-tafaqquh pada mazhab lain, maka tentu berpindah mazhab lebih baik baginya daripada bertahan pada mazhab awalnya yang tak mampu ia pahami dengan baik.
- Berpindah Mazhab bukan Karena Kepentingan Duniawi Maupun Agama
Keadaan yang ketiga ini cukup menarik, karena ternyata dalam pengamatan beliau ada orang yang berpindah mazhab bukan karena harta benda dan bukan juga karena kepentingan agama, yakni hanya sekedar berpindah tanpa tujuan. Hukumnya adalah sebagai berikut.
Jika pelakunya adalah orang awam, maka hukumnya boleh. Namun ini makruh jika dilakukan oleh seorang yang fakih dalam mazhabnya, hal ini dikarenakan ia meninggalkan hal yang lebih utama, yaitu mengamalkan mazhabnya yang telah ia pelajari dan pahami dengan baik untuk menyibukkan diri dengan mempelajari mazhab lain. Sehingga meninggalkan pengamalan atas ilmu yang telah ia pelajari, untuk belajar mazhab baru yang bisa memakan waktu bertahun-tahun.
Bahaya Fanatisme Mazhab
Satu hal yang juga menjadi concern beliau dalam pembahasan ini adalah agar jangan fanatik terhadap satu mazhab tertentu.
Beliau mengkritik pernyataan seorang mufti mazhab maliki yang pernah mengatakan sungguh tercela orang yang berpindah mazhab dari mazhab maliki, dan sang mufti tersebut menyebutkannya secara mutlak tanpa menjelaskan batasan apapun. Maka menurut beliau sejatinya mufti tersebutlah yang sangat tercela, karena imam mazhabnya sendiri yaitu Ibn al-Hajib tak pernah mengatakan hal seperti itu.
Beliau juga mengkrikit pernyataan seorang penganut Hanafi yang mengatakan boleh bagi pengikut mazhab selain Hanafi untuk berpindah ke mazhab Hanafi, namun haram hukumnya bagi pengikut Hanafi untuk berpindah menjadi pengikut mazhab Syafi’i atau mazhab-mazhab yang lain.
Syaikh Ahmad Bik menganggap pandangan dua oknum diatas sebagai pendapat yang tidak memiliki dalil dan tak memiliki landasan ilmiah, serta hanya berlandaskan sikap fanatisme mazhab. Sikap fanatisme buta inilah yang kemudian menjadi cikal bakal sikap ‘kelompok/mazhab kami pasti benar, sedangkan semua yang diluar kami pasti keliru’.
Kebenaran bisa datang darimana saja, kadang bersama mazhab atau kelompok fulan dan pada kesempatan lain bisa saja kebenaran ada bersama kelompok yang lain. Yang kita perlukan adalah sikap kritis, toleran dan beradab. Wallahu a’lam.
Oleh: Achmad Syariful Afif