Seperti lumrahnya, polemik ucapan selamat natal kembali mencuat ke permukaan perbincangan. Polemik ucapan selamat natal memang hampir selalu terjadi setiap tahun. Tak pernah henti, termasuk tahun ini. Kenapa? Menurut pengamatan penulis peribadi, karena ada saja pihak-pihak yang tidak mau menerima perbedaan pendapat. Padahal, perbedaan pendapat dalam lingkup furû’iyah-ijtihâdiyah adalah absah belaka dalam agama–senyampang belum terjadi konsensus ulama (ijmâ’).
Imam As-Suyuthi dalam kitabnya, Jazîl al-Mawâhib fi Ikhtilâf al-Madzâhib, menegaskan bahwa perbedaan pendapat dalam hukum Islam merupakan nikmat yang begitu besar bagi umat. Tersebab, siapapun bisa memilih pendapat-pendapat tersebut sesuai dengan keadaan dan kebutuhannya—bukan nafsunya.
Dan, tidak seorang pun berhak mengklaim paling benar dan yang lain salah. Pada masa para shahabat—yang merupakan masa dan umat terbaik—banyak terjadi perbedaan pendapat dalam soal furû’iyah, tetapi mereka tidak pernah saling klaim, menyalahkan, dan merendahkan orang yang berbeda.
Khalifah Umar bin Abdul Aziz berujar:
ما سرني لو أن اصحاب محمد لم يختلفوا لأنهم لو لم يختلفوا لم تكن رخصة
“Aku tidak senang andai para shahabat Nabi SAW tidak berbeda pendapat, sebab jika mereka tidak berbeda pendapat maka tidak akan ditemukan kemudahan.”
Masalah ucapan selamat natal adalah masalah furû’iyah (non prinsipil) yang tidak ada nas tegas dan definitif (qath’i) serta belum terjadi konsensus (ijmak) ulama terhadapnya, sehingga peluang untuk berbeda pendapat amat terbuka.
Ulama salaf, di antaranya Imam Ibnu Hajar, Imam Khathib asy-Syarbini, dan Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah, menyatakan bahwa ucapan selamat natal (tahni’ah) hukumnya haram. Sebab, menurut pandangan mereka, tindakan tersebut dianggap sebagai tasyabbuh (menyerupai) orang kafir yang dilarang dalam salah satu hadis ahad.
Berbeda dengan ulama masa kini (mu’ashirin) yang memperbolehkan ucapan selamat natal karena hal itu dianggap sebagai bentuk berbuat baik yang tidak dilarang dalam al-Quran dan tidak menganggapnya sebagai bagian dari persoalan akidah.
Allah SWT menegaskan:
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Almumtahanah [60]: 8).
Menurut Habib Ali al-Jufri, selain karena ayat di atas, juga karena illat (kausa) keharaman mengucapkan selamat natal saat ini sudah tidak ada. Dahulu ulama melarangnya karena pada waktu itu dianggap sebagai bagian dari akidah, tetapi orang-orang saat ini sudah tidak menganggap demikian lagi. Bahkan, Syekh Mushthafa az-Zarqa dengan tegas mengatakan bahwa yang mengkatagorikan ucapan selamat natal bagian dari akidah adalah keliru.
Sekarang pertanyaannya adalah, apakah pendapat ulama masa kini yang memperbolehkan ucapan selamat natal dianggap khilaf yang muktabar sehingga bisa digunakan juga? Mari kita analisis dengan saksama.
Dalam kitab Adab al-Ikhtilâf, Muhammad Awwamah menyebutkan dua unsur utama ikhtilaf (perbedaan pendapat) bisa dikatakan muktabar, yaitu obyek perbedaan (maudhû’ al-ikhtilâf) dan orang yang berbeda (al-mukhâlif).
Pertama, obyek ikhtilaf hanya dalam persoalan furû’iyah-zhanniyah (persoalan non prinsipil yang bersifat asumtif), baik mengenai hukum praktis (fiqh) maupun hukum keyakinan (tauhîd). Perbedaan dalam hal ini absah bahkan sampai hari kiamat. Ulama menganggap sebagai rahmat dan keluasan karena memberi opsi pilihan beragam bagi umat sehingga memudahkan mereka. Imam al-Qasthalani asy-Syafi’i menyebutkan bahwa di antara tipologi umat ini adalah kesepakatan mereka merupakan hujah, sedangkan perbedaan mereka merupakan rahmat.
Yang tidak boleh berbeda hanya dalam soal pokok-pokok agama (ushûluddin) dan hukum yang bersifat definitif (qath’i), seperti iman kepada Allah, Rasulullah, hari akhir, hukum kewajiban salat, zakat, dan lain-lain. Dalam masalah keyakinan sama sekali tidak ada ruang ijtihad. Al-ijtihâd fi al-zhanniyât la fi al-qath’iyât.
Kedua, mukhalif disyaratkan harus memiliki kapasitas dan kapabilitas (al-ahliyah). Keahlian yang mesti dimiliki ada dua macam, 1) keahlian intelektual (al-ta’ahhul ‘ilman), dan 2) keahlian spritual (al-ta’ahhul diyanatan wa shalahan).
Keahlian intelektual maksudnya adalah mukhalif mengetahui seraca global mengenai hukum-hukum al-Quran, as-Sunah, ijmak, qiyas, dan lain sebagainya. Untuk mengetahui persoalan tersebut sekarang ini bisa dikatakan lebih mudah daripada di masa ulama dulu. Sekarang banyak ulama yang mengarang kitab secara spesifik mengenai tema tertentu. Seperti ada kitab kompilasi ayat-ayat hukum Islam, hadis-hadis ahkam, ensiklopedi ijmak ulama, dan lain sebagainya, sehingga mudah dirujuk dalam menyelasaikan persoalan hukum.
Yang dimaksud dengan keahlian spritual adalah mukhalif memang dikenal sebagai orang yang taat beragama, bukan ahli maksiat, pembohong, dan lain sebagainya.
Ini didasarkan pada satu hadis dalam Sunan al-Darimi yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan agar kelak ketika terjadi persoalan yang tidak ditemukan nas spesifik dalam al-Qur’an dan as-Sunah untuk bertanya pada orang mukmin yang ahli ibadah.
Imam al-Ghazali dalam al-Mustashfa membahasakannya dengan bahasa adil. Beliau juga beranggapan bahwa adil ini merukapan syarat boleh tidaknya diikuti bukan syarat keabsahan intelektualitas. Artinya, hasil ijtihad orang yang tidak adil tetap sah, namun tidak boleh diikuti. Toh, seperti ditegaskan Imam Malik, dalam persoalan keagamaan harus diambil dari orang yang benar-benar dipercaya ketaatannya dalam beragama.
Akhiran, apa yang ingin disampaikan penulis di sini adalah bahwa dalam ranah keilmuan mesti kita kaji dari aspek keilmuan pula tanpa membawa-bawa otoritas keulamaan. Dengan bersikap demikian akan meminimalisir perdebatan yang tidak perlu sehingga nantinya lebih produktif lagi.
Syekh Ali Jum’ah, Syekh Mushthaf az-Zarqa, dan Habib Ali al-Jufri, dalam pandangan menulis, memenuhi syarat-syarat mukhalif seperti disebutkan di atas. Syekh Ali Jum’ah merupakan ulama pakar ushul fiqh yang memiliki karya banyak, begitu pun dengan Syekh Mushthafa az-Zarqa, ulama pakar hukum Islam. Habib Ali kealimannya sudah diakui oleh ulama dan dunia bahkan sekelas Syekh Muhammad Said Ramadan al-Buthi masih ngaji kepada beliau.
Jadi, berbicara soal pemikiran ulama tertentu secara kritis tak berarti mengdiskreditkan keulamaannnya. Keulamaan adalah satu hal, sedangkan keilmuan adalah hal lain. Ulama salaf seperti itu, mereka berbeda dalam pemikiran, tetapi mereka tidak pernah mengurangi rasa hormat dan respek terhadap orang yang berbeda. Imam Malik dan Imam Auza’i sering berbeda pendapat, tetapi keduanya tetap masih diakui sebagai ulama hingga kini.
Dengan demikian, soal polemik ucapan selamat natal sebaiknya para pihak saling menghargai pendapat masing-masing. Tidak saling mendiskreditkan oleh karena perbedaan dalam furû’iyah yang memang sulit dihindari. Dan, yang terpenting adalah jangan sampai memaksa orang lain untuk mengikuti pendapat yang kita yakini, sebab tindakan semacam itu dapat melahirkan polemik panjang yang tak berkesudahan, bahkan bisa menjadi penyebab konflik horizontal.
Imam Malik menegaskan:
حمل الناس على رأي واحد فتنة
“Memaksa orang lain untuk hanya mengikuti satu pendapat adalah fitnah (dapat menimbulkan fitnah).”
Wallahu a’lam
M. Nadi el Madani